MANAJEMEN LISAN
SEORANG MUSLIM
MUQODDIMAH
Sesungguhnya
di antara nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya adalah nikmat lisan dan
kemampuan berbicara. Allah menggambarkan besarnya nikmat lisan ini dalam
beberapa ayat, di antaranya:
أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُ ۥ عَيۡنَيۡنِ (٨)
وَلِسَانً۬ا وَشَفَتَيۡنِ
Bukankah
Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. (QS.
al-Balad [90]: 8-9)
Berbicara
merupakan keistimewaan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:
خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ (٣) عَلَّمَهُ
ٱلۡبَيَانَ
Dia
menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. (QS. ar-Rahman [55]: 3-4)
Sebagai
isyarat bahwa penciptaan manusia terbedakan dengan makhluk yang lain dengan
kemampuan berbicara.[1]
Bahkan
karena besarnya nikmat lisan dan berbicara ini, Allah menjanjikan surga bagi
orang yang mampu menjaga lisannya. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من يضمن لي
ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
“Siapa
saja yang menjamin kepadaku untuk menjaga yang di antara dua lihyah-nya
(lisan), dan di antara dua kakinya (kemaluan), maka aku jamin baginya surga.”[2]
Akan tetapi,
sebagian manusia tidak menggunakan nikmat ini dalam perkara yang bermanfaat dan
ketaqwaan. Mereka tidak menggunakan lisan mereka untuk membaca al-Qur’an atau
berbicara kebaikan! Bahkan sebaliknya, mereka menggunakan lisan mereka untuk
perkara-perkara yang haram seperti menggunjing, namimah, dusta, dan sebagainya.
Ketahuilah
wahai saudaraku, sesungguhnya manusia akan ditanya oleh Allah akan nikmat
lisan. Sebagaimana Allah berfirman:
يَوۡمَ تَشۡہَدُ عَلَيۡہِمۡ أَلۡسِنَتُهُمۡ
وَأَيۡدِيہِمۡ وَأَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Pada hari
[ketika], lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa
yang dahulu mereka kerjakan. (QS. an-Nur [24]: 24)
Oleh karenanya,
wajib bagi setiap muslim menjaga lisan dan pembicaraannya untuk ketaatan kepada
Allah, agar tidak menjadi petaka bagi dirinya.
PERINTAH
MENJAGA LISAN
Sangat
banyak dalil-dalil yang memerintahkan (kita, -ed) untuk menjaga lisan,
di antaranya:
- Dari al-Qur’an
Allah
berfirman:
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman. (QS. al-Mu’minun [23]: 1)
Siapakah
orang-orang yang beriman yang beruntung ini? Bagaimanakah sifat mereka? Allah
melanjutkan firman-Nya:
ٱلَّذِينَ هُمۡ فِى صَلَاتِہِمۡ خَـٰشِعُونَ
(٢) وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ
[yaitu]
orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (2) dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tiada berguna. (QS. al-Mu’minun
[23]: 2-3)
Imam
asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan
sifat-sifat orang mukmin yang beruntung adalah mereka yang berpaling dari
sesuatu yang tidak berguna, termasuk dalam hal ini antara lain perbuatan dan
perkataan yang tidak ada manfaatnya, berupa main-main, senda gurau, atau
perbuatan yang dapat mengurangi muru’ah (kehormatan)nya.”[3]
Allah juga
berfirman:
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ۬
Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir. (QS. Qof
[50]: 18)
2. Dari
Sunnah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
من كان يؤمن
بالله واليوم الأخر فليقل خيراً أو ليصمت
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau
diamlah!”[4]
Imam Nawawi rahimahullah
berkata: “Hadits ini sangat jelas, hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali
apabila perkataannya membawa kebaikan, dan kapan saja ia ragu untuk membawa
kebaikan dalam perkataannya, maka hendaklah ia tidak berbicara.”[5]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
المسلم من
سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang
muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”[6]
BILA INGIN BERBICARA
Ketahuilah,
lisan adalah penerjemah dari ungkapan yang tersimpan dalam hati. Kalimat yang
telah terucap belum tentu bisa diralat. Oleh karena itu, wajib bagi setiap
orang yang berakal mengontrol ucapan yang keluar dari lisannya.
Imam
al-Mawardi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah, bila ingin berbicara
ada syarat-syarat yang harus diperhatikan, orang yang berbicara tidak akan
selamat kecuali dengan memperhatikan syarat-syarat ini, yaitu:
Pertama: Hendaknya
pembicaraan itu karena ada dorongan dan tujuan yang melatarbelakanginya, baik
karena ingin memberi manfaat atau menolak bahaya.
Kedua: Hendaknya
pembicaraan itu tepat sasaran yang diinginkan, tidak tergesa-gesa atau
terlambat hingga tidak mengenai sasaran yang dituju.
Ketiga: meringkas
pembicaraan sesuai dengan kebutuhan saja.
Keempat: Memilih
kata-kata yang pas dan sesuai ketika berbicara, karena ucapan adalah gambaran
karakter dan kepribadian seseorang.[7]
BEGINILAH GAMBARAN LISAN RASULULLAH
Sahabat Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan tentang lisan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam perkataannya: “Sungguh aku telah mengabdi (kepada,
-ed) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun, dan
tidaklah pernah beliau berkata sama sekali kepadaku terhadap perbuatan yang aku
kerjakan, ‘uff’ (ah), juga tidaklah beliau berkata kepadaku terhadap
perbuatan yang aku kerjakan, ‘Mengapa engkau mengerjakannya?’ Dan tidaklah
beliau berkata kepadaku terhadap pekerjaan yang belum aku kerjakan, ‘Tidakkah
engkau kerjakan ini!’.”[8]
Demikianlah
lisan suri teladan umat Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Betapa indahnya lisan beliau. Tidaklah beliau berucap kecuali ucapan yang baik.
Kemudian, bandingkanlah dengan lisan-lisan kita. Betapa banyak kita mengatakan
kalimat “ah”, sebuah kalimat yang ringan untuk diucapkan; juga kalimat
“Tidakkah engkau kerjakan ini?”, sebuah lontaran yang sering kita katakan;
padahal kedua kalimat tersebut sangat dihindari oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
MEWAPADAI BAHAYA LISAN
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar seorang muslim selalu berlindung dari bahaya da jeleknya lisan. Syakal bin Humaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ajarilah saya sebuah do’a yang saya dapat berlindung dengannya.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tanganku seraya berkata, ‘Ucapkanlah:
اللهم اني
أعوذبك من شر سمعي ومن شر بصري ومن شر لساني ومن شر قلبي ومن شر مني
‘Ya Allah,
aku berlindung kepadaMu dari kejelekan pendengaran, dari kejelekan penglihatan,
dari kejelekan lisan, dari kejelekan hati, dan dari kejelekan angan-angan’.”[9]
Bahaya lisan
tidak bisa dipandang sebelah mata, karena petaka dan ancamannya sangat keras,
di antaranya:
1.
Menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda:
إن العبد
ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
“Sesungguhnya
seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak diperhatikan (baik
dan buruknya) menyebabkan ia tergelincir ke neraka dengan jarak yang lebih jauh
daripada jarak timur ke barat.”[10]
Suatu
ketika, Sahabat mulia Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan kita?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Celaka engkau wahai
Mu’adz, tidaklah manusia tersungkur di atas wajah-wajah danhidung-hidung mereka
di dalam neraka melainkan akibat ucapan lisan-lisan mereka.”[11]
2.
Kebanyakan dosa manusia berawal dari lisan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أكثر خطا يا
إبن آدم في لسانه
“Paling
banyak kesalahan anak Adam bersumber dari lisannya.”[12]
3.
Ancaman yang keras
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ
مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ
تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ
فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ
عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ
رَحْلِهِ
“Wahai
sekalian orang-orang yang selamat lisannya sedangkan iman belum mengakar dalam
hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah kalian mencelanya,
jangan mengorek-orek aurat mereka. Karena barangsiapa yang mengorek-orek aurat
saudaranya (yang –ed) muslim, maka Allah akan membuka auratnya, dan barangsiapa
yang Allah buka auratnya, Allah akan tampakkan aibnya walaupun di celah
rumahnya.”[13]
4.
Orang yang paling dibenci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Orang yang
tidak mampu menjaga lisannya adalah orang yang paling dibenci dan dijauhkan
kedudukannya pada hari kiamat kelak. Berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرٍ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَ أَقْرَبِكُمْ
مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا, وَ إِنَّ مِنْ
أَبْغَضِكُمْ إِلَيَّ وَ أَبْعَدِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
الثَّرْثاَرُوْنَ وَ الْمُتَشَدِّقُوْنَ وَ الْمُتَفَيْهِقُوْنَ. قَالُوْا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ! قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارِيْنَ وَ الْمُتَشَدِّقِيْنَ فَمَا
الْمُتَفَيْهِقُوْنَ؟ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ
Dari Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Orang yang paling aku cintai danpaling dekat kedudukannya
kelak pada hari kiamat adalah orang yang paling bagus akhlaknya. Dan orang yang
paling aku benci dan paling jauh kedudukannya kelak pada hari kiamat adalah
ats-tsartsarun[14], al-mutasyaddiqun[15], al-mutafaihiqun.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami paham
ats-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, tetapi siapakah al-mutafaihiqun itu?”
Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang sombong.”[16]
5.
Tercegahnya kebaikan
Dari Ubadah
bin Shomith radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Aku keluar untuk mengabari kalian waktu Lailatul Qodr,
kemudian ada dua orang yang saling mencela dan bertengkar, ternyata aku menjadi
lupa kapan waktu tersebut. Semoga hal itu menjadi baik bagi kalian, carilah
pada malam ke-29, 27, 25.”[17]
Perhatikanlah
hadits ini wahai saudaraku, bagaimana berita tentang waktu Lailatul Qodr bisa
hilang karena sebab dua orang yang bertengkar dan saling mencela!!
BENTUK-BENTUK PETAKA LISAN
Di sini kami
hanya akan menyebutkan sebagian dari contoh-contoh petaka lisan yang banyak
dikerjakan oleh mayoritas manusia, di antaranya:
1.
Syirik kepada Allah
Syirik
adalah menyekutukan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususan-Nya.
Misalnya, memalingkan salah satu jenis ibadah seperti do’a dan selainnya kepada
selain Allah. Sungguh betapa banyak ucapan yang terlontar oleh lisan (yang,
-ed) menjerumuskan seseorang dalam kesyirikan, seperti bersumpah kepada selain
Allah yang sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat. Contoh sederhana,
ucapan “Demi kehormatanku, aku berjanji…”, dan sebagainya.
Dari Sa’ad
bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya suatu ketika Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu mendengar seseorang bersumpah dengan mengatakan: “Tidak, demi
Ka’bah.” Maka Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang
tersebut: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka dia telah
melakukan kesyirikan.”[18]
Atau contoh
lain yang terucap oleh lisan seperti senandung, puji-pujian, dan sholawat yang
berbau syirik, seperti ucapan, “Ya Robbi bil Musthofa balligh maqoshidana.”
(Wahai Robbku, dengan perantara Nabi, sampaikanlah maksud-maksud kami.),
sungguh sholawat semacam ini adalah kekeliruan besar, karena termasuk bentuk
tawassul kepada zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal!!
2.
Berduta atas Allah dan Rosul
Hal ini juga
terlarang, Allah berfirman:
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى
ٱللَّهِ كَذِبًا أَوۡ كَذَّبَ بِـَٔايَـٰتِهِۦۤۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يَنَالُهُمۡ
نَصِيبُہُم مِّنَ ٱلۡكِتَـٰبِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَتۡہُمۡ رُسُلُنَا
يَتَوَفَّوۡنَہُمۡ قَالُوٓاْ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ
قَالُواْ ضَلُّواْ عَنَّا وَشَہِدُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَنَّہُمۡ كَانُواْ
كَـٰفِرِينَ
Maka
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah
atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang
telah ditentukan untuknya dalam Kitab [Lauh Mahfuzh]; hingga bila datang kepada
mereka utusan-utusan Kami [malaikat] untuk mengambil nyawanya, [di waktu itu]
utusan Kami bertanya: “Di mana [berhala-berhala] yang biasa kamu sembah selain
Allah?” Orang-orang musyrik itu menjawab: “Berhala-berhala itu semuanya telah
lenyap dari kami,” dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir. (QS. al-A’raf [7]: 37)
Berdusta
atas nama Allah dan Rosul-Nya bentuknya beragam, seperti berdusta dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang tidak pantas, atau
seperti memutarbalikkan perkara yang halal dan haram yang telah mapan dalam
agama ini.
3.
Fatwa tanpa ilmu
Sungguh
fenomena yang tak dapat dipungkiri, maraknya fatwa dari para da’i atau ustadz
yang berlagak alim adalah petaka lisan yang sangat besar akibatnya. Betapa
banyak karena sebab fatwa tanpa ilmu, manusia terjatuh dalam kesyirikan,
kebid’ahan, bahkan –yang lebih parah- berdusta atas nama Allah dan Rosul.
Sungguh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah
mengabarkan hal ini dalam sabdanya:
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu ini begitu saja. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu
ini dengan mematikan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menghidupkan
seorang alim pun, maka manusia mengangkat tokoh-tokoh agama yang jahil (bodoh),
lalu ketika mereka ditanya maka mereka menjawab tanpa ilmu, mereka itu sesat
dan menyesatkan.”[19]
Maka
hendaknya saudara-saudaraku berhati-hati dalam masalah agama ini, janganlah
kita sembarangan berfatwa tanpa ilmu.
4.
Pembicaraan yang tidak bermanfaat
Ketahuilah,
orang yang menyadari akan mahalnya waktu, tidak akan membiarkan waktunya
berlalu begitu saja dengan obrolan yang tidak bermanfaat. Bahkan meninggalkan
sesuatu yang tidak bermanfaat termasuk indikasi bagusnya Islam seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di
antara kebaikan Islam seseorang adalah meniggalkan apa yang tidak bermanfaat
baginya.”[20]
Umar bin
Abdul Aziz rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang mengetahui bahwa
ucapannya termasuk amal perbuatannya, maka dia akan sedikit berbicara kecuali
untuk perkara yang bermanfaat.”[21]
5.
Ghibah
Ghibah,
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا:
اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا
تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia
benci.” Kemudian ada yang bertanya: “Bagaimana jika yang aku katakan memang ada
padanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Jika yang
engkau katakan memang ada pada dirinya maka itulah ghibah. Jika tidak maka
engkau telah berbuat dusta padanya.”[22]
Tidak
diragukan lagi, ghibah hukumnya haram. Maka janganlah engkau biarkan lisanmu
membicarakan saudaramu yang membawa engkau terjatuh dalam dosa. Allahul
Musta’an.
Sumber:
majalah AL FURQON No. 108, Rubrik Adab Islamiyyah dan Tazkiyatun Nufus
Hal. 49-53
[1] Adz-Dzari’ah ila Makarim
asy-Syari’ah hlm. 191 al-Ashfahani
[2] HR. Bukhari: 6474
[3] Adhwa’ul Bayan
5/310 asy-Syinqithi
[4] HR. Bukhari: 6018 dan Muslim:
47
[5] Syarh Riyadhush Shalihin
6/115 Ibnu Utsaimin.
[6] HR. Bukhari: 10 dan Muslim: 40
[7] Adabud Dunya wad Din
hlm. 434-435 al Mawardi –tahqiq: Yasin Muhammad as-Sawwas
[8] HR. Bukhari: 5691 dan Muslim;
2309
[9] HR. Abu Dawud: 1551, Tirmidzi:
3492, Nasa’i: 5470. (Lihat Shahih Abu Dawud: 1372)
[10] HR. Bukhari: 6112 dan Muslim:
2988
[11] Lihat yakhrij lengkapnya
dalam ash-Shahihah no. 412
[12] HR. Thobaroni, Ibnu Asakir,
dan lain-lain. (Lihat ash-Shahihah no. 534)
[13] HR. Tirmidzi: 2032. Hadits
ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib
wat-Tarhib no. 2339
[14] Ats-Tsartsarun adalah
orang yang banyak bicara.
[15] Al-Mutasyaddiqun
adalah orang yang mengumbar omongan hingga tidak terkontrol.
[16] HR. Tirmidzi: 2018,
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah: 791
[17] HR. Bukhari: 2023
http://brillyelrasheed.blogspot.com/2014/06/merahasiakan-rahasia-yang-terlarang.html
ReplyDeletehttp://brillyelrasheed.blogspot.com/2014/06/merahasiakan-rahasia-yang-terlarang.html
http://brillyelrasheed.blogspot.com/2014/06/diam-itu-emas.html
ReplyDelete