Assalamu'alaikum wr. wb
Berikut keutamaan bulan puasa beerta hadist hadist shahih sebagai penunjang :
1. Berpuasa karena melihat hilal, berhari raya juga karena melihat hilal, jika tertutup awan maka genapkan hingga tiga puluh hari
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah
karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan
bilangan Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhari No. 1909)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Maka berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah
karena melihatnya, lalu jika kalian terhalang maka ditakarlahlah sampai
tiga puluh hari. (HR. Muslim No. 1080, 4)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ
وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا
لَهُ
Sesungguhnya sebulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa
sampai kalian melihatnya (hilal), dan janganlah kalian berhari raya
sampai kalian melihatnya, jika kalian terhalang maka
takarkan/perkirakan/hitungkanlah dia. (HR. Muslim No. 1080, 3)
2. Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka
akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)
Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab
dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang
tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat
nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak
mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut
ini.
3. Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke
Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi
dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)
4. Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman
dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni
dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)
5. Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan
ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37
1904, 1905)
6. Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup
pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Dalam hadits lain:
إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين
“Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)
7. Allah Ta’ala Langsung Membalas Pahala Puasa
Firman Allah Ta’ala dalam hadist Qudsi :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan anak Adam itu adalah (pahala) baginya, kecuali puasa,
karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR.
Bukhari No. 1795, Muslim No. 1151, Ibnu Majah No. 1638, 3823, Ahmad No.
7494, Ibnu Khuzaimah No. 1897, Ibnu Hibban No. 3416)
8. Disediakan Pintu Ar Rayyan bagi orang yang puasa
Haditsnya:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ
يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan, yang akan
dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti, dan
tidak ada yang memasuki melaluinya kecuali mereka. Dikatakan: “Mana
orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak ada yang
memasukinya seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, maka
pintu itu ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk
melaluinya.” (HR. Bukhari No. 1797, 3084, Muslim No. 1152, At Tirmidzi
No. 762, Ibnu Majah No. 1640)
9. Bau mulut orang puasa lebih Allah Ta’ala cinta di banding kesturi
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
… Demi Yang Jiwa Muhammad ada di tanganNya, bau mulut orang yang
berpuasa lebih Allah cintai u dibanding bau misk (kesturi) …” (HR.
Bukhari No. 1904 dan Muslim No. 1151)
10. Dua kebahagiaan bagi orang berpuasa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه
“Bagi orang berpuasa ada dua kebahagiaan: yaitu kebahagiaan ketika
berbuka, dan ketika berjumpa Rabbnya bahagia karena puasanya.” (HR.
Bukhari No. 1805, 7054. Muslim no. 1151. At Tirmidzi No. 766. An Nasa’i
No. 2211, 2212, 2213, 2215, 2216. Ibnu Majah No. 1638. Ad Darimi No.
1769. Ibnu Hibban No. 3423. Al Baihaqi dalam As Sunan No. 7898. Ibnu
Khuzaimah No. 1896. Abu Ya’la No. 1005. Ahmad No. 4256, dari Ibnu
Mas’ud. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 10077. Abdurrazzaq No. 7898)
11. Anjuran bersahur
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)
12. Keutamaan bersahur
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ
أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya,
walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan
para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086,
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq
Musnad Ahmad No. 11086)
Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)
13. Disunnahkan menta’khirkan sahur:
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia
yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam
sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi
dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh
Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar,
bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan
mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul
Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
14. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Jibril menemuinya (nabi) pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan
dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)
15. Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama bulan Ramadhan melebihi hembusan angin
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ
وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ
فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling
dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi
ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan
Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan
kebaikan melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)
16. Memberikan makanan buat orang yang berbuka puasa
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang
berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut,
tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi No. 807,
katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As Sunan Al
Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No.
21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
17. Memperbanyak doa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang
yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang
teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban
No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat
Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih
Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani
mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)
18. Doa ketika berbuka puasa
Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ
الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka
puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal
ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al
Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An
Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No.
4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
19. I’tikaf di-‘asyrul awakhir (10 hari tertakhir) Ramadhan
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ
الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ
اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari
terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian
istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari No. 2026, Muslim No.
1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي
كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ
فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan
10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR.
Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No.
839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
20. Tarawihnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya
shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau
keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ
إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي
رَمَضَانَ
“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku
keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap
kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129,
Muslim No. 761)
21. Terawih pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: 8 rakaat dan witir 3 rakaat
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat
shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No.
2013, 3569, Muslim No. 738)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ،
إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال :
نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن
ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya
(yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu
Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata:
“Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu
Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat,
lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak
mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu
Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat
Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)
22. Terawih pada masa Sahabat: 20 rakaat dan witir 3 rakaat serta terawih 36 rakaat dan witir 3 rakaat
Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab
Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat
tarawih dua puluh rakaat.
وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي
جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم
على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين
ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة
يصلون عشرين ركعة
“Dan telah shahih, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan
Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli
fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi:
‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan
Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20
rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i:
“Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.”
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan:
وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ ” كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي
زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ” وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ
طَرِيق عَطَاء قَالَ ” أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ
رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر ”
“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar
melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’,
dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka
shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ ”
أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد
الْعَزِيز – يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ – يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ
رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ ” وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ
الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ”
رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ
وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ ”
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia
berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman
dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan
ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah
perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku
melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini
adalah masalah yang lapang.” (Ibid)
23. Orang yang sia-sia puasanya
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari
puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No.
1690, Ad Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No.
9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad
Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
24. Boleh mencium isteri jika mampu menahan diri
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ
يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا
فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ
قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat
itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari ini, Aku telah melakukan hal yang
besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa.” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur
dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya (Umar) menjawab: “Tidak
mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lalu,
kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad, No. 138, 372. Al Hakim, Al Mustadrak
No. 1572, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 7808, 8044. Ibnu Khuzaimah
No. 1999)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim. (Al Mustadrak ‘Alash
Shahihain No. 1572). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya
shahih sesuai syarat Imam Muslim. (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 138).
Syaikh Al A’zhami (Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1999)
Hadits di atas menerangkan bahwa mencium isteri dan berkumur-kumur
hukumnya sama yakni boleh, kecuali berlebihan hingga bersyahwat, apalagi
mengeluarkan air mani.
Dari Abu Salamah, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل بعض نسائه وهو صائم. قلت لعائشة:
في الفريضة والتطوع؟ قالت عائشة: في كل ذلك، في الفريضة والتطوع
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencium sebagian isterinya
dan dia sedang puasa.” dan aku juga berpuasa.” Aku (Abu Salamah) berkata
kepada ‘Aisyah: “Apakah pada puasa wajib atau sunah?” Beliau menjawab:
“Pada semuanya, baik puasa wajib dan sunah.” (HR. Ibnu Hibban No. 3545)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hadits ini shahih.” (Shahih Ibnu Hibban bitartib Ibni Balban, No. 3545)
25. Berpuasa ketika safar; diberikan pilihan antara tetap berpuasa atau berbuka, tergantung kekuatan orangnya
Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب
أن يصوم فلا جناح عليه”.
“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar,
apakah salah saya melakukannya?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab: “Itu adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barang
siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan
barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya.” (HR. Muslim No.
1121. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 7947. Ibnu Khuzaimah No. 2026)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام
حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول الله إن الناس قد شق
عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض
الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada tahun
Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga
sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya.
Dikatakan kepadanya: “Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan
berpuasa.” Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau
minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan
sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada
orang yang masih puasa.” Maka Beliau bersabda: “Mereka durhaka.” (HR.
Muslim No. 1114. Ibnu Hibban No. 2706, An Nasa’i No. 2263. At Tirmidzi
No. 710. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.7935)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan dia kesusahan karenanya.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس
عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه
وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر”.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah dalam perjalanannya.
Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak
kehausan dan kepanasan. Rasulullah bertanya: “Kenapa dia?” Meeka
menjawab: “Seseorang yang puasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan
safar.” (HR. Muslim No. 1115)
Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa
ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh
karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab
tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika
safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Ja’a fi Karahiyati Ash
Shaum fi As Safar (Hadits Tentang makruhnya puasa dalam perjalanan),
bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:
باب ذكر خبر روي عن النبي صلى الله عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر
عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم
في السفر غير جائز لهذا الخبر
“Bab tentang khabar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang
penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan
penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa
ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”
Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja
dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyebutkan hal itu, seperti riwayat
Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu di atas.
Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول الله صلى الله عليه وسلم، في السفر، وأفطر.
“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada
kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah berpuasa dalam safar dan juga berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)
Dari Ibnu Abbas juga:
سافر رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم
دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة .قال
ابن عباس رضي الله عنهما: فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفطر. فمن
شاء صام، ومن شاء أفطر.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan perjalanan pada
Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta
sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia
berbuka hingga masuk Mekkah.” Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
“Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa dan berbuka.
Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia
berbuka.” (Ibid)
Dengan mentawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa
disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka.
Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka
atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah,
maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A’lam
26. Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu
Sinan:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Sesungguhnya Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan memunaikan haji
atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)
27. Tentang Lailatul Qadar
Secara spesifik, Lailatul Qadar ada pada sepuluh malam terakhir atau
tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Maka, barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada sepuluh malam terakhir.” (HR. Bukhari No. 1105)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ
الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ
كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Sesungguhnya seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melihat Lailatul Qadr pada mimpinya pada tujuh hari terakhir.
Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Saya melihat
mimpi kalian telah bertepatan pada tujuh malam terakhir, maka
barangsiapa yang ingin mendapatkan Lailatul Qadar, maka carilah pada
tujuh malam terakhir.” (HR. Bukhari No. 1911, 6590, Muslim No.1165 Ibnu
Hibban No. 3675, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8327, Ibnu
Khuzaimah No. 2182, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 697
Bagaimanakah maksud tujuh malam terakhir? Tertulis penjelasannya dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, sebagai berikut:
قال أبو بكر هذا الخبر يحتمل معنيين أحدهما في السبع الأواخر فمن كان أن
يكون صلى الله عليه وسلم لما علم تواطأ رؤيا الصحابة أنها في السبع الأخير
في تلك السنة أمرهم تلك السنة بتحريها في السبع الأواخر والمعنى الثاني أن
يكون النبي صلى الله عليه وسلم إنما أمرهم بتحريها وطلبها في السبع
الأواخر إذا ضعفوا وعجزوا عن طلبها في العشر كله
Berkata Abu Bakar: Khabar ini memiliki dua makna. Pertama, pada malam
ke tujuh terakhir karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala
mengetahui adaya kesesuaian dengan mimpi sahabat bahwa Lailatul Qadr
terjadi pada tujuh malam terakhir pada tahun itu, maka beliau
memerintahkan mereka pada tahun itu untuk mencarinya pada tujuh malam
terakhir. Kedua, perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para
sahabat untuk mencari pada tujuh malam terakhir dikaitkan jika mereka
lemah dan tidak kuat mencarinya pada sepuluh hari semuanya. (Lihat
Shahih Ibnu Khuzaimah No. 2182)
Makna ini diperkuat lagi oleh hadits yang menunjukkan alasan kenapa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mengintai tujuh
hari terakhir.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَمِسُوهَا
فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ
أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah dia
pada sepuluh malam terakhir (maksudnya Lailatul Qadar) jika kalian
merasa lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai dikalahkan oleh tujuh
hari sisanya.” (HR. Muslim No. 1165, 209)
- Kemungkinan besar adalah pada malam ganjilnya
Kemungkinan lebih besar adalah Lailatul Qadr itu datangnya pada malam ganjil sebagaimana hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ
“Seseungguhnya Aku diperlihatkan Lailatul Qadar, dan aku telah
dilupakannya, dan saat itu pada sepuluh malam terakhir, pada malam
ganjil.” (HR. Bukhari No. 638, 1912, 1923)
Dalam riwayat lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي
الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Carilah oleh kalian Lailatul Qadar pada malam
ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1913)
Ada dua pelajaran dari dua hadits yang mulia ini. Pertama, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak tahu persis kapan datangnya
Lailatu Qadar karena dia lupa. Kedua, datangnya Lailatul Qadar adalah
pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir.
- Malam ke 24, 25, 27 dan 29?
Imam Bukhari meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
التمسوا في أربع وعشرين
“Carilah pada malam ke 24.” (Atsar sahabat dalam Shahih Bukhari No. 1918)
Imam Bukhari juga meriwayatkan, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit
Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Maka carilah Lailatul Qadar pada malam ke sembilan, tujuh, dan lima
(pada sepuluh malam terakhir, pen).” (HR. Bukhari No. 49, 1919)
Berkata seorang sahabat mulia, Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ
الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ
لَا شُعَاعَ لَهَا
“Demi Allah, seseungguhnya aku benar-benar mengetahui malam yang
manakah itu, itu adalah malam yang pada saat itu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk shalat malam, yaitu malam
yang sangat cerah pada malam ke 27, saat itu tanda-tandanya hingga
terbitnya matahari, pada pagi harinya putih terang benderang, tidak ada
panas.” (HR. Muslim No. 762)
Bukan hanya Ubay bin Ka’ab, tapi juga sahabat yang lain. Salim meriwayatkan dari ayahnya Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ
فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِي الْوِتْرِ مِنْهَا
“Seorang laki-laki melihat Lailatul Qadr pada malam ke 27. Maka, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Aku melihat mimpi kalian pada
sepuluh malam terakhir, maka carilah pada malam ganjilnya.” (HR. Muslim
No. 1165)
Inilah riwayat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, bahwa
kemungkinan besar Lailatul Qadr adalah pada malam ke 27. Namun,
perselisihan tentang kepastiannya sangat banyak, sehingga bisa dikatakan
bahwa jawaban terbaik dalam Kapan Pastinya Lailatul Qadr adalah wallahu
a’lam.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:
وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي لَيْلَة الْقَدْر اِخْتِلَافًا
كَثِيرًا . وَتَحَصَّلَ لَنَا مِنْ مَذَاهِبهمْ فِي ذَلِكَ أَكْثَر مِنْ
أَرْبَعِينَ قَوْلًا
“Para ulama berbeda pendapat tentang Lailatul Qadr dengan perbedaan
yang banyak. Kami menyimpulkan bahwa di antara pendapat-pendapat mereka
ada lebih 40 pendapat.” (Fathul Bari, 4/262. Darul Fikr)
28. Doa ketika Lailatul Qadar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan doa khusus untuk kita baca ketika Lailatul Qadar.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ
عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ
قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ
عَنِّي
Dari ‘Aisyah dia berkata “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu jika aku mengetahui bahwa pada suatu malam adalah Lailatul
Qadar, apa yang aku ucapkan?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, ‘Allahumma
innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.” (HR. At Tirmidzi No.
3513, At Tirmidzi berkata: hasan shahih. Ibnu Majah No. 3850. Syaikh Al
Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 3337,
Shahihul Jami’ No. 4423, dan lainnya)
29. Orang yang tidak berpuasa tanpa alasan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, secara marfu’:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
Barang siapa yang tidak berpuasa pada Ramadhan tanpa adanya uzur,
tidak pula sakit, maka tidaklah dia bisa menggantikannya dengan puasa
sepanjang tahun, jika dia melakukannya. (HR. Bukhari No. 1934)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة
منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة
المكتوبة، وصوم رمضان
Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama
Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka
dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa
Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala No.
2349, Alauddin Al muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 23, juga Ad
Dailami dan dishahihkan oleh Imam Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid:
aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan,
Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tetapi didhaifkan oleh
Syaikh Al Albani Rahimahullah)
Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني،
ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.
“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa
Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk,
bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq
dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat
juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Source : http://beritapks.com